Rabu, 24 Agustus 2011

Manaqib Al Maghfurlah Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Tholib Al Athas.

pekalongan
Manaqib Al Maghfurlah Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Tholib Al Athas.
Keramat sapuro-Pekalongan
Makam keramat Sapuro Kota Pekalongan yang lokasinya dekat dengan jalur pantura ini laksana magnet bagi masyarakat Kota Batik Pekalongan dan sekitarnya.
Komplek pemakaman umum kelurahan Sapuro ini menjadi salah satu tujuan wisata religius di karenakan di komplek pemakaman ini terdapat makam Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Tholib Al Athas, seorang tokoh penyebar agama Islam di Kota Pekalongan dan sekitarnya.
Apalagi setiap hari kamis sore sampai hari jum’at,komplek pemakaman ini penuh sesak dengan para peziarah yang datang dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Lokasi makam Habib Ahmad bin Abdullah binThalib Al Athas ini sangat mudah di jangkau karena tempatnya sangat strategis. Yakni kurang lebih 100 meter dari jalan Jendral Sudirman.
Sekitar 5oo meter dari perempatan Ponolawen ke arah timur, atau sekitar 2 kilometer ke arah barat dari Terminal induk Kota Pekalongan.
Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Thalib Alathas di lahirkan di kota Hajren Hadramaut Yaman pada tahun 1255 hijriyah atau tahun 1836 masehi. Beliau menghabiskan masa remajanya untuk menimba ilmu agama di kota asalnya. Beragam disiplin ilmu agama berhasil beliau raih dengan gemilang.
Setelah Habib Ahmad muda menguasai Al Qur’an dan banyak mendalami ilmu-ilmu agama di daerah asalnya, beliau melanjutkan menuntut ilmu kepada para pakar dan ulama-ulama terkenal yang mukim di Mekkah al Mukaromah dan Madinah Al Munawwaroh.
Sekalipun banyak mendapat tempaan ilmu dari banyak guru di kedua kota suci ini, namun guru yang paling utama dan paling besar pengaruhnya bagi pribadi Habib Ahmad adalah As Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
Assayyid Ahmad Zaini Dahlan adalah seorang pakar ulama yang sangat banyak muridnya di Mekkah al Mukarromah maupun di negara-negara lainnya. Banyak ulama-ulama dari Indonesia yang juga berguru kepada Assayyid Ahmad Zaini Dahlan. Seperti, Hadrotul Fadhil Mbah KH Kholil Bangkalan Madura dan Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari Jombang Jawa Timur. Kedua ulama ini adalah cikal bakal jamiyyah Nahdlotul Ulama.
Setelah selesai dan luluis menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad mendapat tugas dari gurunya untuk berdakwah menyebarkan syariat agama Islam di kota Mekkah.
Dikota kelahiran Nabi Saw ini, Habib Ahmad sangat dicintai dan di hormati oleh segala lapisan masyarakat, karena Habib Ahmad berusaha meneladani kehidupan Rosulallah Saw. Habib Ahmad mengajar dan berdakwah di kota Mekkah sekitar tujuh tahun. Setelah itu beliau pulang ke kampung kelahiran beliau,Hadramaut.
Tidak lama mukim di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah di Asia Tenggara. Dan pilihan beliau jatuh ke Indonesia. Karena memang pada waktu itu sedang banyak-banyaknya imigran dari Hadramaut yang datang ke Indonesia. Di samping untuk berdagang juga untuk mensyiarkan ajaran Islam.
Setibanya Habib Ahmad di Indonesia,beliau memilih tinggal di Pekalongan Jawa Tengah. Karena Habib Ahmad melihat kondisi keagamaan di Pekalongan yang masih sangat minim. Dan saat pertama menginjakkan kakinya di Pekalongan, Habib Ahmad melaksanakan tugas sebagai imam di Masjid Wakaf yang ada di kampung Arab (sekarang Jl. Surabaya).
Dari Masjid Wakaf inilah Habib Ahmad memulai dakwah Islamiyyahnya. Dari pengajian kitab-kitab fiqih, pembacaan daiba’i, barzanji, pembacaan wirid,dzikir dan lain sebagainya.
Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alathas juga dikenal sebagai ulama hafidz ( penghafal al Qur’an)
Habib Ahmad adalah seorang ulama yang selalu tampil dengan rendah hati (tawadhu),senang bergaul dan gemar bersilaturrohim dengan siapa saja. Habib Ahmad paling tidak senang,bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan dirinya.
Kendati demikian, Habib Ahmad tidak dapat mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah dan Rosul-Nya yang di remehkan oleh orang lain. Habib Ahmad sangat teguh dan keras memegang syariat Islam,seperti masalah amar ma’ruf nahi mungkar.
Pada zamannya dahulu, Habib Ahmad ibarat Kholifah Umar bin Khothob yang sangat tegas dan keras menentang setiap kemungkaran. Tidak peduli yang berbuat mungkar itu pejabat maupun orang awam.
Satu contoh, para wanita tidak akan berani lalu lalang di depan kediaman Habib Ahmad kalau tidak mengenakan tutup kepala (kerudung). Kalau ketahuan oleh Habib Ahmad pasti langsung kena teguran. Tidak peduli wanita muslim ataupun non muslim.
Menjelang akhir hayatnya, Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alathas mengalami patah tulang pada pangkal pahanya,akibat jatuh hingga beliau tidak sanggup berjalan.
Sejak saat itu beliau mengalihkan semua kegiatan keagamaannya di kediamannya, termasuk sholat berjamaah dan pengajian.
Penderitaan ini berlanjut sampai beliau di panggil pulang ke Ramatullah. Habib Ahmad Bin A bdullah Bin Thalib Alathas meninggal dunia pada malam ahad 24 rajab 1347 hijriyyah atau tahun 1928 masehi. Habib Ahmad meninggal dunia dalam usia 92 tahun.
Walaupun Habib Ahmad meninggal dunia pada tanggal 24 rajab, akan tetapi acara khaulnya di peringati setiap tanggal 14 sya’ban, bertepatan dengan malam nisyfu sya’ban.
(Dari berbagai sumber)

Manaqib Al Maghfurlah Al Habib Muhammad Bin Ahmad Al Muhdor


Al Maghfurlah Al Habib Muhammad Bin Ahmad Al Muhdor
Al Maghfurlah Al Habib Muhammad Bin Ahmad Al-Muhdor, Bondowoso

Perawakannya tampan dan gagah, orang yang melihatnya pasti mengetahui kalau beliau memiliki charisma yang sangat besar.Dari wajahnya terpancar cahaya yang begitu hebat. Beliau adalah menantu dari seorang tokoh auliya di masanya, yaitu Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya). Hubungan antara keduanya begitu erat. Satu sama lain saling menghormati dan lebih memandang kelebihan ada pada yang lain. Menantu dan mertua sama-sama auliya.

Habib Muhammad Al-Muhdhor lahir di desa Quwaireh, Du’an Al-Ayman, Hadramaut, pada tahun 1280 H atau sekitar tahun 18633 M. Ayahnya, Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor, seorang ulama rujukan para ahli ilmu di zamannya. Beliau lahir di Ar-Rasyid Ad-Du’aniyah 1217 H dan wafat pada tahun 1304 H bertepatan dengan tahun 1886 M.
Lingkungan keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Itulah yang terjadi pada kalangan Alawiyin di Hadramaut masa itu hingga saat ini. Sebagaimana lazimnya pendidikan para Alawiyin di Hadramaut, Habib Muhammad mendapat bimbingan agama langsung dari ayahnya. Beliau mengkhatamkan Al-Qur’an dan belajar berbagai kitab keilmuan pada ayahnya. Beliau juga belajar kepada kakaknya, Al-Habib bin Ahmad Al-Muhdhor. Jika kita perhatikan kita dapat mengetahui, bahwa pendidikan para ulama bain alawi di Hadramaut menghasilkan sanad keilmuan dari seorang wali bin wali dan seterusnya, hingga bersambung kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
Setelah belajar kepada ayah dan kakaknya, Habib Muhammad kemudian belajar mendapatkan ijazah dari para ulama dan auliya’ di saat itu. Salah sarunya adalah Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas. Dan Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas inilah yang merupakan guru pembentuk karakter dan kepribadian Habib Muhammad Al-Muhdhor. Ketika itu, Haibi Muhammad selalu mengikuti majelis Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, dan beliau pula yang meyertai kemana pun sang guru ini pergi.
Dalam kitab Tajul A’ras halaman 469 di ceritakan bahwa, Habib Muhammad Al-Muhdor mengisahkan salah satu peristiwa dalam kehidupannya ketika menuntut ilmu pada waktu itu.
“Saya membaca kitab Al-Muhadzab kepada Al-Imam Al-Walid Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas. Tetapi ketika itu tidak mudah bagi kami untuk menyelesaikan, beliau meminta saya untuk menemaninya dalam perjalanan pulang ke Huraidhah, desa di mana beliau tinggal. Maka saya pun menuruti perintah beliau. Dalam perjalanan itulah saya membaca kitab tersebut bersama beliau, sampai akhirnya saya dapat menyelesaikan pembacaan kitab itu pada hari keberangkatan kami dari Gaidun. KEtika itu kami berjalan mengendarai dua kuda berdampingan”.
Selanjutnya, ketika ayah beliau wafat. Bersama Habib Hamid kakaknya, Habib Muhammad melakukan perjalanan dakwah ke berbagai negeri untuk merayu ke Jalan Allah dan Rasulnya. Berdua mereka melakukan perjalanan ke Singapura dan Indonesia. Dimana pun tempat beliau singgah, mereka selalu di sambut oleh para penduduk negri dengan suka cita dan penuh penghormatan. Setelah itu, berdua mereka kembali ke kampong halaman di Hadramaut.
Selang beberapa waktu, Habib Hamid kakaknya, melakukan perjalanan ke tanah suci, untuk melaksanakan ibasah haji dan berziarah ke makam datuknya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di Madinah. Sekembalinya kakak beliau dari tanah suci, pada tahun 1308 H, Habib Muhammad melakukan perjalanan dakwah ke kotaHeydrabad di India. Beliau dating untuk memenuhi undangan Sultan ‘Awad bin Umar AL-Qu’aythi. Di India, beliau mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakatnya, ribuan manusia segala lapisan dan golongan berbondong-bondong datang untuk menemui beliau. Dari India, beliau melanjutkan perjalanan dakwahnya ke Indonesia, dan beliau memilih Bondowosao. Disanalah beliau menetap dan berdakwah. Beberapa waktu kemudian, Habib Muhammad Al-Muhdhor beremu dengan Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya). Dari pertemuan itulah yang mendorong beliau untuk berguru kepada Al-Imam Al-Habib Muhammad bin Idrus AL-Habsyi. Karena eratnya hubungan keduanya, akhirnya Habib Muhammad Al-Muhdhor menikah dengan putrid Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi.
Dalam berdakwah, beliau menggunakan cara yang santun dan bijak. Beliau berbicara kepada manusia sesuai dengan kemampuan mereka. “Kallimu an-naas ‘ala qadri uquulihim”. Dalam beramar ma’ruf nahi munkar beliau menggunakan cara yang santun dan halus. Hingga semua lapisan masyarakat dapat menerima dengan baik nasehat-nasehatnya. Semua kalangan, baik dari kalanganAlawiyin, orang-orang Pribumi, bahkan para pembesar Belanda pun, hormat dan segan kepada beliau.
Habib Muhammad sangat senang menerima tamu yang datang ke rumah beliau. Dengan wajah berseri-seri beliau menyambut para tetamunya di depan pintu dan menghormatinya bak raja yang datang. Beliau sendiri yang menyiapkan dan melayani kebutuhan para tamunya itu.
Beliau yang sangat peduli dengan keadaan kaum muslimin, terlebih-lebih pada para Saadah Alawiyin. Karena kepeduliannya yang begitu besar terhadap para Alawiyin, hingga beliau seakan-akan sebagai bapak dari para Alawiyin yang ada pada masa itu. Selain ulama, beliau juga ahli di bidang sastra, banyak tulisan dan karya syair-syair beliau. Beliau merupakan sosol ulama yang sering melakukan kontak hubungan dengan para ulama di negeri lain guna memeahkan berbagai masalah tentang dakwah Islam. Diantara para ulama itu adalah : Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Hiyed, Al-Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, dan AL-Habib Muhammad bin Agil bin Yahya dari Hadramaut.
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di Surabaya akibat sakit yang di deritanya, pada malam selasa 21 Syawal 1344 H, bertepatan dengan 4 Mei 1926 M, Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhor wafat. Beliau meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Dengan kewafatannya, para pecinta beliau seakan-akan menjadi yatim dan kehilangan sosok ayah. Pada keesokan harinya, dengan diiringi seruan tahlil dan uraian mata, ribuan kaum muslimin mengantarkan jenazah beliau ke pemakaman. Jasad beliau di makamkan dalam qubah di pemakaman Al-Habib Hasan Al_habsyi. Makam beliau bersanding dengan makam Al-Imam Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, yang merupakan mertua, guru sekaligus sahabat beliau. BEliau meninggalkan lima anak laik-laki yang menjadi khalifah penerus dakwahnya, mereka dalah : Al-Habib Abdullah bin Muhammad Al-Muhdhor, Al-Habib Alwi bin Muhammad Al-Muhdhor, Al-Habib Sholeh bin Muhammad Al-Muhdhor, Al-Habib Husein bin Muhammad Al-Muhdhor dan Al-Habib Muhdhor bin Muhammad Al-Muhdhor, yang mereka kesemuanya menjadi ulama, beliau juga meninggalkan 3 anak perempuan.

 maqam HABIB MUHAMMAD BIN AHMAD AL-MUHDOR (Bondowoso)
maqam HABIB MUHAMMAD BIN AHMAD AL-MUHDOR (Bondowoso)

Manaqib Al Maghfurlah Al Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz



Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Abdullah bin Abu Bakar bin ‘Aydrus bin ‘Umar bin ‘Aydrus bin ‘Umar bin Abu Bakar bin ‘Aydrus bin Husein bin As-Syekh Al Kabir Al-Qutb As-Syahir Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.

Manaqib Al Maghfurlah Al Walid Al Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf

clip_image001
Al Maghfurlah Al Walid Al Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir Assegaf, Bukit Duri
Nasab Beliau
Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin
Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum
Habib Abdurrahman lahir tahun 1908 di Cimanggu, Bogor. Beliau adalah putra Habib Ahmad bin AbdulQadir Assegaf. Ayahandanya sudah wafat ketika beliau masih kecil, tapi kondisi itu tidak menjadi halangan baginya untuk giat belajar.
Pernah mengenyam pendidikan di Jami’at Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat memperihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya,Habib Ali bin Abdurrahman “Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata, “Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu”. Tidurnya pun di bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar.”
Ketika masih belajar di Jami’at Al-Khair, prestasinya sangat cemerlang. Beliau selalu menempati peringkat pertama. Nilainya bagus, akhlaqnya menjadi teladan teman-temannya. Untuk menuntut ilmu kepada seorang ulama, beliau tak segan-segan melakukannya dengan bersusah payah menempuh perjalanan puluhan kilometer. “Walid itu kalau berburu ilmu sangat keras. Beliau sanggup berjalan berkilo-kilo meter untuk belajar ke Habib Abdullah bin Muhsin Al-Aththas (Habib Empang Bogor).”
Selain Habib Empang, guru-guru Habib Abdurrahman yang lain adalah Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad ( Mufti Johor, Malaysia ), Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir AlHaddad, Habib Ali bin Husein Al-Aththas ( Bungur, Jakarta ), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi ( Kwitang, Jakarta ), K.H.Mahmud ( Ulama besar Betawi ) dan Prof.Abdullah bin Nuh ( Bogor ).
Semasa menunutut ilmu, Habib Abdurrahman sangat tekun dan rajin, itulah sebabnya beliau mampu menyerap ilmu yang diajarkan guru-gurunya. Ketekunannya yang luar biasa mengantarnya menguasai semua bidang ilmu agama. Kemampuan berbahasa yang baguspun mengantarnya menjadi penulis dan orator yang handal. Beliau tidak hanya sangat menguasai bahasa Arab, tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus.
Habib Abdurrahman tidak sekadar disayang oleh para gurunya, tapi lebih dari itu, beliau pun murid kebanggaan. Beliaulah satu-satunya murid yang sangat menguasai tata bahasa Arab, ilmu alat yang memang seharusnya digunakan untuk memahami kitab-kitab klasik yang lazim disebut “kitab kuning”. Para gurunya menganjurkan murid-murid yang lain mengacu pada pemahaman Habib Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan pemahaman dari segi tata bahasa.
Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Disinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin menyala. Beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik ( dari seruling sampai terompet ), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Belakangan, ketika berusia 20 tahun, beliau pindah ke Bukit Duri dan berbekal pengalaman yang cukup panjang, beliaupun mendirikan madrasah sendiri, Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, yang hingga sekarang masih eksis di Bukit Duri, Jakarta. Sebagai madrasah khusus, sampai kini Tsaqafah Islamiyah tidak pernah merujuk kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, mereka menerapkan kurikulum sendiri dan uniknya, Madrasah ini menggunakan buku-buku terbitan sendiri yang disusun oleh sang pendiri, Habib Abdurrahman Assegaf.. Disini, siswa yang cerdas dan cepat menguasai ilmu bisa loncat kelas.
Dunia pendidikan memang tak mungkin dipisahkan dari Habib Abdurrahman, yang hampir seluruh masa hidupnya beliau baktikan untuk pendidikan. Beliau memang seorang guru sejati. Selain pengalamannya banyak, dan kreativitasnya dalam pendidikan juga luar biasa, pergaulannya pun luas. terutama dengan para ulama dan kaum pendidik Jakarta.
Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai berbagai disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyak guru. Sebab ilmu yang dimilikinya tidak dapat diwariskan.
“Beliau konsisten dan tegas dalam mendidik anak. Beliau juga menekankan bahwa dirinya tidak mau meninggalkan harta sebagai warisan untuk anak-anaknya. Beliau hanya mendorong anak-anaknya agar mencintai ilmu dan mencintai dunia pendidikan. Beliau ingin kami konsisten mengajar, karenanya beliau melarang kami melibatkan diri dengan urusan politik maupun masalah keduniaan, seperti dagang, membuka biro haji dan sebagainya. Jadi, sekalipun tidak besar, ya….sedikit banyak putra-putrinya bisa mengajar,” kata Habib Umar merendah.
Habib Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang; diantaranya Habib Muhammad, pemimpin pesantren di kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib Alwi, memimpin Majlis Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri; Habib Umar, memimpin pesantren dan Majlis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukit Duri dan Habib Abu Bakar, memimpin pesantren Al-Busyro di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan orang.
Sebagai Ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari Tauhid, Tafsir, Akhlaq, Fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu dan Sunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain, Hilyatul Janan fi Hadyil Qur’an, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bunyatul Umahat dan Buah Delima. Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas dan memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah Tsaqafah Islamiyyah.
Habib Abdurrahman juga dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin, sederhana dan ikhlas. Dalam hal apapun beliau selalu mementingkan kesederhanaan. Dan kedisiplinannya tidak hanya dalam hal mengajar, tapi juga dalam soal makan. “Walid tidak akan pernah makan sebelum waktunya. Dimanapun ia selalu makan tepat waktu.” Kata Habib Ali.
Mengenai keikhlasan dan kedermawanannya, beliau selalu siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Pada tahun 1960-an, Habib Abdurrahman mengalami kebutaan selama lima tahun. Namun musibah itu tak menyurutkan semangatnya dalam menegakkkan syiar islam. Pada masa-masa itulah beliau menciptakan rangkaian syair indah memuji kebesaran Allah swt dalam sebuah Tawasul, yang kemudian disebut Tawasul Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Sebagai Ulama besar, Habib Abdurrahman juga dikenal memiliki karomah. Misalnya, ketika beliau membuka Majlis Taklim Al-Buyro di Parung Banteng Bogor sekitar tahun 1990, sebelumnya sangat sulit mencari sumber air bersih di Parung Banteng Bogor. Ketika membuka majlis Taklim itulah, Habib Abdurrahman bermunajat kepada Allah swt selama 40 hari 40 malam, mohon petunjuk lokasi sumber air. Pada hari ke 41, sumber belum juga ditemukan. Maka Habib Abdurrahman pun meneruskan munajatnya.
Tak lama kemudian, entah darimana, datanglah seorang lelaki membawa cangkul. Dan serta merta ia mencangkul tanah dekat rumah Habib Abdurrahman. Setelah mencangkul, ia berlalu dan tanah bekas cangkulan itu ditinggal, dibiarkan begitu saja. Dan, subhanallah, sebentar kemudian dari tanah bekas cangkulan itu merembeslah air. Sampai kini sumber air bersih itu dimanfaatkan oleh warga Parung Banteng, terutama untuk keperluan Majelis Taklim Al-Busyro. Menurut penuturan Habib Abdurrahman, lelaki pencangkul itu adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Wafatnya Habib Abdurrahman Assegaf
Suatu hari, seorang santri Darul Musthafa, Tarim Hadramaut, asal Indonesia, mendapat pesan dari seoranh ulama besar disana, Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi Syahab. “Saya mimpi bertemu Rasulullah SAW, tapi wajahnya menyerupai Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong beritahu anak-anak beliau di Indonesia. Katakan, mulai saat ini, jangan jauh-jauh dari walid ( orang tua ).”
Sang santri itu langsung menelepon keluarganya di Indonesia. Hingga akhirnya kabar dari ulama Hadramaut itu diterima keluarga Habib Abdurrahman di Bukit Duri Jakarta.
Seminggu kemudian, apa yang diperkirakan itu pun tiba. Tepatnya Senin Siang jam 12.45, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 rabiul Awal 1428 H, langit Jakarta seakan mengelam. Kaum muslim ibu kota terguncang oleh berita wafatnya Al-Alamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman Assegaf, dalam usia kurang lebih 100 tahun.
Jenazah ulama besar yang ilmu, akhlaq dan keistiqamahannya sangat dikagumi itu, disemayamkan di ruang depan rumahnya yang bersahaja, tepat di sisi Sekretariat Yayasan Madrasah Tsaqofah Islamiyah, di jln. Perkutut no.273, Bukit Duri Puteran , Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat tahlil dan pembacaan Surat Yaa siin bergema sepanjang hari sampai menjelang pemakamannya keesokan harinya. Sebuah tenda besar tak mampu menampung gelombanh jemaah yang terus berdatangan bak air bah. Pihak keluarga memutuskan pemakaman akan dilakukan ba’da zhuhur di pemakaman Kampung Lolongok, tepatnya di belakang Kramat Empang.
Acara pelepasan jenazah dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga, yang diwakili Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Dengan nada sendu, pengasuh Majlis Taklim Al-Affaf itu mengucapkan terima kasih kepada para pecinta Habib Abdurrahman Assegaf yang telah datang bertakziah dan membantu proses pengurusan jenazah. Selanjutnya putra kedua Habib Abdurrahman tersebut mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum.”Beliau rindu kepada Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa rindu itu lewat sholawat-sholawat yang tak pernah lepas dari bibirnya setiap hari.” Katanya.
Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan pun mulai sesunggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara, tampil dengan suara bergetar.
“hari ini, tidak seperti hari-hari yang lalu, kita berbicara tentang bagaimana memelihara anak yatim. Tapi, kali ini, kita semua menjadi anak-anak yatim.” Kata Habib Ali, yang mengibaratkan hadirin sebagai anak yatim. Betapa tidak, Habib Abdurrahman dianggap sebagai orang tua tidak hanya oleh keluarganya, tapi juga oleh jamaah. Semasa hidupnya, beliau senantiasa mengayomi, membimbing dan setia mendengar keluh kesah jamaah. Tapi kini, sang pelita itu telah pergi. Sebagian hadirin terguguk menangis, bahkan ada yang histeris.
“Kepergian Walid sudah diramal jauh-jauh hari. Suatu hari beliau pernah berkata kepada saya, “Umimu dulu yang bakal berpulang kepada Allah swt, setelah itu baru saya. Dan benarlah, ibunda Hj.Barkah ( istri Walid ) berpulang sekitar tujuh bulan yang lalu, tepatnya pada 26 Juli 2006. wali juga pernah berkata kepada keluarga, “Saya pulang pada hari senin, kasih tahu saudara-saudaramu.”
Jam 12.00, jenazah disholatkan di depan kediaman Walid, dengan Imam, Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Haddad 9 Al-Hawi Condet ). Pada hari itu juga, besan Habib Abdurrahman, Syarifah Rugayah binti Muhammad bin Ali Al-Attas juga wafat.
Pukul 13.00, iring-iringan jenazah mulai bergerak menuju Empang Bogor, melalui jalan Tol Jagorawi. Ribuan kendaraan mengiringi ambulance yang membawa jenazah.
Disaat mobil jenazah yang didihului dua mobil pengawal dari kepolisian mendekati pintu makam pukul 16.15, konsentrasi massa yang terpusat disitu luar biasa banyaknya. Suasana pun menjadi agak gaduh. Maka setelah jenazah dikeluarkan dari mobil ambulance dan dibawa menuju liang lahat sekitar 30 meter dari pintu masuk, suasana penuh kesedihan sungguh sangat terasa. Banyak yang tak kuasa menahan tangis.
Segera setelah itu, jenazah dimasukkan ke liang lahat sambil terus diiringi dzikir yang tak henti dari para jemaah.
Mewakili Shohibul bait, Habib Hamid bin Abdullah al-Kaff, pengasuh pondok pesantren Al-Haramain Asy-Syarifain Pondok Ranggon Cipayung, memberikan tausiyah, “Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam lampu yang sangat besar, yang menerangi kota Jakarta,” katanya.
“Beruntunglah murid-muridnya yang telah menimba ilmu pada almarhum. Ingatlah selalu pesan almarhum, saya sering mendengar pada acara haul, kalau saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah mengirimkan fatihah untuk saya.’ Maka marila dalam pembacaan Fatihah-fatihah yang biasa kita baca, kita kirim untuk almarhum.”

Al Kisah No.16/tahun II/2-15 Agustus 2004 , No. 19 / Tahun IV / 11 – 24 September 2006 & No.8 / Tahun V / 9 – 22 April 2007.

Manaqib Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assaqof

Manaqib Al Qutub Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman Assaqof

Nasab beliau yang mulia
Beliau adalah Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad dan terus bersambung nasabnya hingga sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Beliu dilahirkan di kota Sewun, Hadramaut, pada bulan Jumadil Akhir Tahun 1331 H. Beliau dibesarkan oleh kedua orangtuanya yang sholeh sehingga sejak kecil beliau telah dihiasi dengan hidayah dan ketakwaan.
Ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf, adalah seorang imam yang dihiasi dengan keindahan budi pekerti yang luhur ilmu yang luas dan amal yang soleh. Al-Habib Ali bin Muhammad Al habsyi pernah berkata bahwa Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman adalah Imam Wadil Ahqof (Hadramaut).
Ibu beliau adalah As-Syarifah Alawiyah binti Al-Habib Ahmad bin Muhammad Aljufri. Beliau adalah seorang wanita yang sholihah dan suka pada kebajikan. Ketika ibu beliau sedang mengandung dan melahirkan bayi laki-laki, bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir atas isyarat dari Al-Habib Ali bin Muhammad Al habsyi, tetapi tidak lama kemudian bayi tersebut meninggal dunia. Ketika As-Syarifah Alawiyah melahirkan bayi laki-laki untuk yang kedua kalinya, Al-Habib Ali juga mengisyaratkan agar bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir. Al-Habib Ali mengatakan bahwa bayi ini kelak akan menjadi orang yang mulia yang mengabdikan hidupnya untuk taat kepada Allah dan menjadi seorang yang dihiasi dengan ilmu, amal dan ihsan.
As-Syarifah Alawiyah meninggal dunia pada tanggal 29 Rajab 1378 H bersamaan dengan hari wafatnya Al-Habib Salim bin Hafidh Bin Syekh Abubakar bin Salim (kakek dari Al-Habib Umar Bin Hafidh). Sedangkan Al-Habib Ahmad (ayah dari Al-Habib Abdul Qodir) meninggal dunia pada sore hari, Sabtu, tanggal 4 Muharram 1357 H, setelah menunaikan shalat ashar pada usia 79 tahun, sedangkan Al-Habib Abdul Qodir saat itu baru berusia 25 tahun.
Masa kecil beliau
Sejak kecil beliau tumbuh berkembang dalam lingkungan ilmu pengetahuan, ibadah dan akhlak yang tinggi yang ditanamkan dan sekaligus dicontohkan oleh ayah beliau yang sholeh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaqof. Dan memang demikianlah keadaan kebanyakan keluarga-keluarga Alawiyin di Hadramaut pada masa itu. Keadaan ini sangat mendukung para orangtua untuk mencetak kader-kader ulama dan shulaha’ (orang-orang baik) karena anak-anak disana pada masa itu selain dididik oleh orang tua, lingkungan juga ikut membentuk mereka. Keikhlasan dan kebersihan hati menjadi hiasan penduduk disana kala itu. Mereka tidak terkontaminasi dengan budaya dan berbagai macam paham dari luar . Setiap anak meneladani ayahnya dan ayah meneladani kakeknya. Demikianlah seterusnya sehingga asror mereka terwariskan kepada anak cucunya.
Ketika usia Al-Habib Abdul Qodir sudah cukup dan telah tampak kesungguhan niat beliau dalam menuntut ilmu, maka beliau mulai mengikuti pendidikan di luar rumah, karena selama ini beliau hanya belajar dengan ayahnya. Pertama kali beliau mengenyam pendidikan di `Ulmah Thoha, yaitu sebuah pendidikan yang diadakan di masjid Toha yang didirikan oleh datuknya Al-Habib Thoha bin Umar Assaqof di kota Sewun. Adapun guru yang mengajar beliau di tempat tersebut adalah As-Syaikh Thoha bin Abdullah Bahmed. ‘Ulmah Thoha adalah sebuah lembaga pendidikan sederhana yang didirikan atas dasar takwa dan keridhoan Allah, oleh karena itu tempat tersebut telah banyak mencetak orang-orang besar dan tokoh-tokoh ulama pada zaman itu. Di tempat itulah Al-Habib Abdul Qodir bersama anak-anak sebayanya tekun mendalami ilmu qowaidul kitabah, qiroah dan lain-lain, sehingga menjadi kuat dasar-dasar pengetahuannya serta fasih lisannya.
Setelah beberapa waktu kemudian beliau keluar dari ‘Ulmah Thoha dan mencurahkan waktunya untuk lebih banyak duduk dan menimbah ilmu dari ayahnya, sehingga tampak tanda-tanda kemuliaan pada diri beliau. Kemudian atas perintah ayahnya beliau melanjutkan pendidikannya di madrasah An-Nahdhoh Al-`ilmiyah di kota Sewun.
Di madrasah An-Nahdhoh Al-’Ilmiyah ini, Al-Habib Abdul Qodir memperdalam berbagai macam ilmu, seperti ilmu Fiqih, Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Sastra Arab, Tarikh dan Tahfid Al-Quran. Manhaj madrasah ini adalah at-tazkiah (pensucian), at-tarbiyah (pendidikan) dan at-tarqiyah (keluhuran budi pekerti). Mudir (Kepala Sekolah) An-Nahdhoh waktu itu adalah As-Syaikh Al-Adib Ali Ahmad Baktsir. As-Syaikh Ali selalu memperhatikan kemajuan murid-muridnya, sampai-sampai murid-murid yang memiliki kecerdasan dan keunggulan di madrasah, beliau berikan kepada mereka pelajaran tambahan (privat) di rumahnya. Al-Habib Abdul Qodir juga mempelajari ilmu Qiroatus Sab’ah dengan As-Syaikh Hasan Abdullah Baraja’ setelah As-Syaikh Hasan pulang dari Makkah untuk memperdalam ilmu Qiroatul Qur’an.
Selain mendapatkan pengajaran berbagai ilmu di madrasah tersebut, peran ayah beliau, Al-Habib Ahmad, dalam menggembleng beliau cukup besar. Bahkan yang didapatkan Al-Habib Abdul Qodir dari ayahnya lebih banyak daripada yang beliau dapatkan di madrasah. Hari-hari Al-Habib Abdul Qodir penuh dengan kegiatan belajar. Beliau pernah mengatakan bahwa sehari semalam, dalam satu atau dua jalsah dengan ayahnya, beliau bisa mengkhatamkan satu kitab. Dengan demikian waktu beliau menjadi berkah. Dalam waktu yang relatif singkat beliau telah menjadi seorang yang luas pengetahuannya dan luhur budi pekertinya.
Mengajar di Madrasah An-Nahdhoh
Di antara keistimewaan madrasah An-Nahdhoh ini adalah meluluskan lebih awal murid-muridnya yang unggul untuk diperbantukan mengajar di situ. Di antara sekian banyak siswanya, terpilihlah Al-Habib Abdul Qodir untuk diluluskan dan diizinkan mengajar. Tentunya pilihan ini jatuh kepada Al-Habib Abdul Qodir bukanlah sesuatu yang mudah, tapi setelah mengalami proses yang cukup ketat. Ini semua adalah berkat kesungguhan niat beliau dalam belajar dan kegigihan ayah beliau dalam mengembleng, sehingga Al-Habib Abdul Qodir unggul dalam banyak hal di antara teman sebayanya.
Pada suatu saat Al-Habib Abdul Qodir mulai diperintahkan oleh ayahnya untuk mengisi pengajian umum yang biasa diadakan di masjid Thoha bin Umar Ash-Shofi. Dalam penyampaiannya, Al-Habib Abdul Qodir banyak menerangkan hal-hal yang sebelumnya tidak banyak diketahui orang. Dari situlah orang-orang yang hadir tahu bahwa beliau adalah penerus ayahnya dan pewaris sirr para datuknya. Dengan mengajar dan mengisi pengajian itulah, Al-Habib Abdul Qodir telah mencetak santri-santri yang berkualitas yang banyak bersyukur dan menyaksikan keunggulan beliau.
Setelah ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman, meninggal dunia pada tahun 1357 H, maka para masyayikh dan tokoh Alawiyyin saat itu sepakat bahwa beliaulah penerus sang ayah, karena semua kebaikan yang ada pada diri Al-Habib Ahmad telah diwarisi oleh Al-Habib Abdul Qodir. Saat itu beliau telah berusia 25 tahun. Semenjak itu, Al-Habib Abdul Qodir meneruskan apa-apa yang menjadi kebiasaan ayahnya.
Sebagaimana ayahnya, Al-Habib Abdul Qodir mengisi waktunya dengan belajar dan mengajar, serta menunaikan segala kewajiban. Beliau selalu mengumbar senyum kepada siapa saja yang ditemuinya. Beliau suka menerima tamu dan membantu yang lemah dengan kemampuan yang dimilikinya. Diterangkan dalam kitab At-Takhlis Asy-Syafi, bahwa rumahnya adalah tumpuan para tamu dan beliau tidak pernah membedakan tamu-tamunya. Hampir-hampir terkesan beliaulah satu-satunya orang di kota Sewun yang memuliakan tamu dan gemar membantu orang-orang yang lemah kala itu. Selain itu beliau juga selalu menjaga hubungan silaturrahmi.
Karena ketinggian akhlak beliau itulah, menjadikan semua mata tertuju kepada Al-Habib Abdul Qodir, sehingga banyak orang ingin menimba ilmu darinya. Dimana saja beliau mengajar atau mengisi pengajian, tempat tersebut penuh sesak oleh para hadirin. Setiap apa-apa yang beliau ucapkan, selalu menyentuh hati para pendengarnya.
Di tengah-tengah kesibukannya, Al-Habib Abdul Qodir menyempatkan diri duduk dengan para orangtua, ulama dan para pendidik, untuk membicarakan berbagai macam hal, baik keilmuan ataupun yang lainnya, serta menjalin rasa kasih sayang di antara mereka.
Di rumah beliau terdapat sebuah perpustakaan yang lengkap dan semua kitab tersebut telah dibaca oleh Al-Habib Abdul Qodir di hadapan ayahnya. Semasa hidup ayah beliau, Al-Habib Ahmad, jika mendengar atau melihat sebuah kitab dan kitab tersebut tidak ada dalam perpustakaannya, maka Al-Habib Ahmad menyuruh putranya, Al-Habib Abdul Qodir, untuk membaca dan mencatatnya, dan kemudian disimpan di perpustakaannya itu. Sebagaimana ayah beliau sewaktu mudanya, Al-Habib Abdul Qodir suka membaca buku-buku sastra, sehingga menjadikan beliau seorang yang pandai membuat syair.
Hijrahnya dari Hadramaut
Suatu saat terjadi perubahan negatif pada pemerintahan Yaman Selatan dimana mereka membuat kebijakan-kebijakan dan upaya untuk menghapus tradisi leluhur dan juga melakukan penekanan terhadap ulama. Para tokoh masyarakat diwajibkan melaporkan diri ke kepolisian 2 kali setiap hari saat pagi dan sore. Tidak sedikit dari mereka yang dibunuh. Kenyataan pahit ini mendorong banyak para tokoh ulama disana, di antaranya Al-Habib Abdul Qodir, untuk meninggalkan Yaman demi menyelamatkan agama dan budaya leluhurnya, .
Dengan dibantu oleh seseorang yang dekat dengan pemerintahan, beliau mendapat izin untuk berhijrah ke kota Aden pada tahun 1393 H. Disana beliau mendapatkan sambutan yang luar biasa. Tampak kegembiraan masyarakat Aden dengan kedatangan beliau. Di tengah-tengah kesibukannya berdakwah dan menghadiri majlis-majlis di kota Aden, beliau berupaya untuk berhijrah dari Yaman. Dengan ridho dan pertolongan Allah SWT, sebulan setelah kedatangannya di kota Aden, beliau berangkat menuju Singapura.
Di bandara Singapura, beliau disambut oleh banyak orang dan para tokoh Alawiyin saat itu, di antaranya adalah Al-Habib Muhammad bin Salim Al-Atthas dan As-Sayyid Ali Ridho bin Abubakar bin Thoha Assaggaf. Berbagai majlis diselenggarakan untuk menyambut kedatangan Al-Habib Abdul Qodir. Bahkan rumah tempat beliau tinggal penuh sesak oleh tamu yang ingin mengambil berkah dan menimbah ilmu dari beliau.
Pada bulan Juli 1974 M/1393 H, Al-Habib Abdul Qodir meninggalkan Singapura menuju Jakarta. Di Indonesia beliau juga mendapat sambutan yang hangat dari para ulama dan masyarakat di Jakarta. Tokoh Alawiyin yang mendampingi kunjungan beliau di Jakarta antara lain As-Sayyid Salim bin Muhammad Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad bin Umar Maulakheilah, Al-Habib Muhammad bin Ali Alhabsyi (Kwitang), As-Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Jawwas, As-Sayyid Abdurrahman bin Ahmad Assaggaf, Al-Ustadz Hadi bin Sa’id Jawwas, dan lain-lain. Al-Habib Abdul Qodir menghadiri majlis taklim Al-Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi yang diadakan setiap hari Minggu pagi di Kwitang dan berbagai majlis lainnya di Jakarta.
Pada tanggal 13 Jumadil Tsani 1393 H/Agustus 1974 M, Al-Habib Abdul Qodir berkunjung ke Surabaya. Di Surabaya beliau tinggal di rumah Al-Ustadz Ahmad bin Hasan Assaggaf di Jalan Sambas no. 3. Al-Ustadz Ahmad mengurus segala keperluan dan perjalanan Al-Habib Abdul Qodir ke berbagai kota di Jawa Timur. Selama Al-Habib Abdul Qodir di Surabaya, rumah Al-Ustadz Ahmad penuh dengan tamu yang datang dari berbagai kota. Al-Ustadz Ahmad melayani mereka dengan penuh sabar dan tulus, bahkan menyediakan kendaraan bagi para tetamu yang ingin ikut mengiringi perjalanan Al-Habib Abdul Qodir.
Di setiap tempat yang dikunjungi, Al-Habib Abdul Qodir tidak hanya berdakwah, namun menaruh perhatian besar pada keadaan kaum Alawiyin. Setiap kota yang dimasuki, yang pertama ditanyakan oleh beliau adalah bagaimana keadaan Alawiyyin. Jika ada yang sakit, beliau mengunjunginya. Yang faqir, beliau santuni. Yang berselisih, beliau damaikan. Demikianlah aktivitas beliau sepanjang hidupnya, dimana saja beliau berada hingga akhir hayatnya.
Pada tahun yang sama, Al-Habib Abdul Qodir berhijrah dari Indonesia menuju Hijaz. Berbondong-bondong khalayak melepas kepergian beliau dengan penuh kesedihan dan air mata. Mereka menginginkan Al-Habib Abdul Qodir tetap tinggal di Indonesia. Demikian dalam kesedihan mereka hingga Al-Habib Abdul Qodir menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa beliau akan datang berkunjung kembali ke Indonesia setelah beliau berziarah dan mengungkapkan masalah yang dihadapinya kepada Nabi SAW di kota Madinah.
Guru-guru beliau
Al-Habib Abdul Qodir menimbah ilmu dari banyak guru. Setiap berkunjung ke suatu tempat, beliau menyempatkan diri untuk menggali ilmu dari para ulama dan orang-orang sholeh di tempat tersebut. Di antara guru beliau adalah Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaqoff (ayah beliau), Al-Habib Umar bin Hamid bin Umar Assaqoff, Al-Habib Umar bin Abdul Qodir bin Ahmad Assaqoff, Al-Habib Abdul Bari bin Syaikh Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad bin Hadi Assaqof, Al-Habib Sholeh bin Muhsin Alhamid (Tanggul), Al-Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aidrus, dan lain-lain.
Murid-murid beliau
Di antara para murid beliau adalah Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al haddar, Al-Habib Zein bin Ibrahim Bin Smith, Al-Habib Salim bin Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, Al-Habib Abubakar Al-’Adany bin Ali Al-Masyhur, As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Al-Habib Abubakar bin Hasan Al-Atthas dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.
Demikianlah Al-Habib Abdul Qodir menghabiskan hari-harinya dengan belajar, mengajar dan membantu kaum yang lemah hingga ajal menjemputnya. Beliau wafat pada waktu Subuh, hari Minggu, tanggal 19 Rabiul Tsani 1431 (4 April 2010 M) pada usia 100 tahun. Jenazah beliau disholatkan di Masjidil Haram dan disemayamkan di pekuburan Ma’la setelah sholat Isya pada hari yang sama.

sumber :
http://bisyarah.wordpress.com/2010/04/04/manaqib-al-habib-abdul-qodir-bin-ahmad-assaggaf-1/

Manaqib Al Maghfurlah Al Habib Abdullah Bin Abdulqadir Bilfaqih

habibi_n
Habib Abdullah bin ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih al-’Alawi adalah ulama yang masyhur alim dalam ilmu hadits. Beliau menggantikan ayahandanya Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih sebagai penerus mengasuh dan memimpin pesantren yang diasaskan ayahandanya tersebut pada 12 Rabi`ul Awwal 1364 / 12 Februari 1945 di Kota Malang, Jawa Timur.

Pesantren yang terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pesantren ini telah melahirkan ramai ulama yang kemudiannya bertebaran di segenap pelusuk Nusantara. Sebahagiannya telah menurut jejak langkah guru mereka dengan membuka pesantren-pesantren demi menyiarkan dakwah dan ilmu, antaranya ialah Habib Ahmad al-Habsyi (PP ar-Riyadh, Palembang), Habib Muhammad Ba’Abud (PP Darun Nasyi-in, Lawang), Kiyai Haji ‘Alawi Muhammad (PP at-Taroqy, Sampang, Madura) dan ramai lagi.
Bak Pinang Dibelah Dua, Bapak dan anak sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik ulung dan bijak. Merekalah Habib Abdul Qadir dan Habib Abdullah Bilfaqih.
Masyarakat Malang dan sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama kharismatik, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik yang bijaksana. Mereka adalah bapak dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah untuk “mencetak” anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadist – mewarisi ilmunya.
Ketika menunaikan ibadah haji, Habib Abdul Qadir Bilfagih berziarah ke makam Rasulullah SAW di kompleks Masjid Nabawi, Madinah. Di sana ia memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dikaruniai putra yang kelak tumbuh sebagai ulama besar, dan menjadi seorang ahli hadits.
Beberapa bulan kemudian, doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiul Awal 1355 H/1935 M, lahirlah seorang putra buah pernikahan Habib Abdul Qadir dengan Syarifah Ummi Hani binti Abdillah bin Agil, yang kemudian diberi nama Abdullah.
Sesuai dengan doa yang dipanjatkan di makam Rasulullah SAW, Habib Abdul Qadir pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik putra tunggalnya itu. Pendidikan langsung ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih berusia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah hafal Al-Quran.
Hal itu tentu saja tidak terjadi secara kebetulan. Semua itu berkat kerja sama yang seimbang antara ayah yang bertindak sebagai guru dan anak sebagai murid. Sang guru mengerahkan segala daya upaya untuk membimbing dan mendidik sang putra, sementara sang anak mengimbanginya dengan semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun, dan rajin.
Menjelang dewasa, Habib Abdullah menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan At-Taroqi, dari madrasah ibtidaiyah hingga tsanawiyah di Malang, kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Semua lembaga pendidikan itu berada di bawah asuhan ayahandanya sendiri.
Sebagai murid, semangat belajarnya sangat tinggi. Dengan tekun ia menelaah berbagai kitab sambil duduk. Gara-gara terlalu kuat belajar, ia pernah jatuh sakit. Meski begitu ia tetap saja belajar. Barangkali karena ingin agar putranya mewarisi ilmu yang dimilikinya, Habib Abdul Qadir pun berusaha keras mendidik Habib Abdullah sebagai ahli hadits.
Maka wajarlah jika dalam usia relatif muda, Habib Abdullah telah hafal dua kitab hadits shahih, yakni Shahihul Bukhari dan Shahihul Muslim, lengkap dengan isnad dan silsilahnya. Tak ketinggalan kitab-kitab Ummahatus Sitt (kitab induk hadits), seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; Muwatha’ karya Imam Malik; An-Nawadirul Ushul karya Imam Hakim At-Turmudzy; Al-Ma’ajim ats-Tsalats karya Abul Qasim At-Thabrany, dan lain-lain.
Tidak hanya menghafal hadits, Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah hadist, yaitu ilmu yang mempelajari hal ikhwal hadits berikut perawinya, seperti Rijalul Hadits, yaitu ilmu tentang para perawi hadits. Ia juga menguasai Ilmu Jahr Ta’dil (kriteria hadits yang diterima) dengan mempelajari kitab-kitab Taqribut Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqallany, Mizanut Ta’dil karya Al-Hafidz adz-Dzahaby.

Empat Madzhab

Selain dikenal sebagai ahli hadits, Habib Abdullah juga memperdalam tasawuf dan fiqih, juga langsung dari ayahandanya. Dalam ilmu fiqih ia mempelajari kitab fiqih empat madzhab (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), termasuk kitab-kitab fiqih lain, seperti Fatawa Ibnu Hajar, Fatawa Ramli, dan Al-Muhadzdzab Imam Nawawi.
Setelah ayahandanya mangkat pada 19 November 1962 (21 Jumadil Akhir 1382 H), otomatis Habib Abdullah menggantikannya, baik sebagai pengasuh pondok peantren, muballigh, maupun pengajar. Selain menjabat direktur Lembaga Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga memegang beberapa jabatan penting, baik di pemerintahan maupun lembaga keagamaan, seperti penasihat menteri koordinator kesejahteraan rakyat, mufti Lajnah Ifta Syari’i, dan pengajar kuliah tafsir dan hadits di IAIN dan IKIP Malang. Ia juga sempat menggondol titel doktor dan profesor.
Sebagaimana ayahandanya, Habib Abdullah juga dikenal sebagai pendidik ulung. Mereka bak pinang dibelah dua, sama-sama sebagai pendidik, sama-sama menjadi suri tedalan bagi para santri, dan sama-sama tokoh kharismatik yang bijak. Seperti ayahandanya, Habib Abdullah juga penuh perhatian dan kasih sayang, dan sangat dekat dengan para santri.
Sebagai guru, ia sangat memperhatikan pendidikan santri-santrinya. Hampir setiap malam, sebelum menunaikan shalat Tahajjud, ia selalu mengontrol para santri yang sedang tidur. Jika menemukan selimut santrinya tersingkap, ia selalu membetulkannya tanpa sepengetahuan si santri. Jika ada santri yang sakit, ia segera memberikan obat. Dan jika sakitnya serius, ia akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke dokter.
Seperti halnya ulama besar atau wali, pribadi Habib Abdullah mulia dan kharismatik, disiplin dalam menyikapi masalah hukum dan agama. Tanpa tawar-menawar, sikapnya selalu tegas: yang haq tetap dikatakannya haq, yang bathil tetap dikatakannya bathil.
Sikap konsisten untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja ditunjukkan kepada umat, tapi juga kepada pemerintah. Pada setiap kesempatan hari besar Islam atau hari besar nasional, Habib Abdullah selalu melancarkan saran dan kritik membangun – baik melalui pidato maupun tulisan.
Habib Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi (Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah).
Habib Abdullah wafat pada hari Sabtu 24 Jumadil Awal 1411 H (30 November 1991) dalam usia 56 tahun. Ribuan orang melepas kepergiannya memenuhi panggilan Allah SWT. Setelah dishalatkan di Masjid Jami’ Malang, jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan makam ayahandanya di pemakaman Kasin, Malang, Jawa Timur.
http://blog.its.ac.id/syafii

Biografi Ringkas Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Syahab ( ‘Ainu Tarim )

ainu tarim
Beliau seorang yang sangat alim,berwibawa dan tawadhu dan Beliau termasuk A’yanil bilad Tariem (Tokoh-tokoh Habaib Tarim). Beliau juga lah yang sering dijuluki Sang “Ainu Tariem” – Matanya Kota Tarim al Ghanna

Usia Beliau sekitar 70-an, putra dari Al-Allamah Habib Muhammad, dan cucu dari Al-Allamah Habib Alwi bin Abdullah bin Shahabuddin, dipercaya telah mencapai maqam atau tingkatan yang sangat tinggi sebagai seorang sufi. Seperti juga ayah, kakek, serta kakek buyutnya, beliau termasuk orang yang dekat dan begitu cinta kepad Rasulullah saw. Sehingga tak ada tindakan-tindakannya yang tidak mengacu pada perilaku Nabi saw. Beliau sering diundang ke Indonesia, melalui para ulama dan habaib,
dan jawaban Beliau selalu;” Saya menunggu perintah saja!’. ( Maksud dari perkataan Beliau ialah menunggu perintah dari ROSULULLAH Saw secara langsung ),karena beliau sering berdialog dengan baginda Rasul Saw.
biasanya didatangi para Ulama yang hendak bepergian berdakwah ke luar negeri untuk minta izin, berpamitan dan memohon doa’ restu. Tak kurang, Habib Umar bin Hafidz, pemimpin Darul Mustafa, Tarim, yang mencetak Ulama-ulama muda di berbagai negeri, tak bisa tidak, selalu mencium tangan Habib Abdullah sebelum keliling mengunjungi anak muridnya. Jangan harap guru besar ini beranjak sebelum mendapat anggukan kepala Habib Abdullah.
Para ulama dan peziarah, khususnya dari Indonesia, juga belum merasa mantap keliling Hadramaut sebelum mendengarkan kalam dan doa’ Habib Abdullah. Setidaknya mencoba menikmati senyum sang habib dan menerima suguhan teh atau kopi dari rumahnya yang dianggap penuh penuh berkah. Habib Umar bin Hafidz tak mau menyentuh gelas kopi yang disuguhkan; ia hanya mau minum dari sisa minuman di gelas habib yang sangat dimuliakannya itu.
Dimana ketika dijumpai di suatu majelis yang dihadiri oleh habaib Tarim seperti Al Habib Abdullah bin Shahab (Ainu Tariem), Al Habib Salim bin Abdullah Asyatiri, Al Habib Masyhur bin Hafidz, Al Habib Umar bin Hafidz dan yang lainnya, kesemuanya merupakan permata nan indah dari Kota Tarim. Yang kemudian ketika waktu memberikan tausiyah, maka Al Habib Salim bin Abdullah Asyatiri tidak akan memberikan tausiyah sebelum Al Habib Abdullah bin Shahab memberikan tausiyah, Al Habib Masyhur bin Hafidz tidak akan memberikan tausiyah sebelum Al Habib Abdullah bin Shahab memberikan tausiyah, Al Habib Umar bin Hafidz tidak akan memberikan tausiyah sebelum Al Habib Abdullah bin Shahab memberikan tausiyah, begitu seterusnya. Beliau begitu dicintai, dihormati, disayangi, dan dikagumi. Sedikit cerita mengenai ahli Tarim yang selalu menandakan akhlak dan ukhuwah dalam setiap apa pun yang dilakukan oleh mereka.
Habib Abdullah tidak melewatkan undangan siapa saja, terutama majlis ilmu, tanpa alasan yang jelas. Apabila beliau hadir, suasana majlis menjadi tampak agung, karena jemaah mendekat, merapat, takut kehilangan bahkan sepatah-dua patah kalam beliau yang sangat berharga, dan mengamini doa-doanya yang dipercaya makbul.
Habib Umar bin Hafidz yang dikenal sebagai jago pidato, akan menyerahkan semua waktunya kepada Habib Abdullah.Beliau di ibaratkan Sang Matahari tunggal didalam suatu majlis.
sumber : http://basaudan.wordpress.com